Hidup di tengah pandemi


The things you can see when you slow down”
buku karya Haemin Sunim yang direkomendasikan oleh temen kanal instagram, amirah ulfah namanya, aku kenal dia karena ada beberapa postingan yang nge’tag doi lalu aku tiba-tiba follow, dan gak tau kapan persisinya. Judul buku itu sama dengan keadaan yang sekarang dirasakan dalam menjalani hidup ditengah meriahnya kabar pandemi yang sudah santer seantero bumi, namanya COVID-19 (Corona Virus Deases) yang ditemukan di Wuhan, China pada Desember 2019 lalu, dan kini virus tersebut sudah menjelajah hampir semua benua yang ada di dunia dengan cepat. Kedatangannya tidak diketahui oleh banyak orang, karena wujudnya yang tidak bisa dilihat kasat mata. Virus, kecil, namun memiliki kapasitas kuat untuk membuat orang kocar-kacir.

   Sebagai seorang  fresh-graduate ini cukup menyita perhatian dan emosi yang bercokol di batin. Karena perihal susahnya mencari pekerjaan dimasa ini, membuat banyak perusahaan juga “merumahkan” karyawan nya tanpa pesangon, bisnis traveling yang nyaris gulung tikar, bisnis star-up basis makanan fancy cepat saji juga diterjang mundur kebelakang dan nyaris terlentang tak berdaya tahan, sekolah diliburkan, pekerja harian berteman rasa ketakutan yang tidak habis siang malam, penarik becak, ojek online begitu sedih tidak bisa membawa pulang beras untuk sekadar membuat dapur mereka mengepul asap, petugas yang harus tetap bekerja di luar rumah menangis menahan takut yang kian menguntit mereka tiap detik. Banyak orang yang tidak berpunya harus menahan lapar berhari-hari karena kehabisan amunisi di dapur mungil mereka, bahkan ada yang terpaksa merebus dedaunan untuk menahan lapar sebagai pengganti nasi.

                Sedang di balik layar gawai, ku lihat begitu banyak orang yang mem-posting kebingungan mereka dalam ‘mengolah’ menu apa lagi yang bisa dimasak hari ini karena sudah semua resep mereka eksplor dan membagi-bagi poteret makanan di dunia maya, dengan linangan kuah yang bersinar, asap yang mengepul serta serba-serbi warna cantik nan menggugah selera, aku hanya bisa menelan liur dalam satu waktu menyaksikan kemirisan yang kulihat tiap hari di media sosial. Kadang aku tersenyum getir menahan linangan air mata melihat postingan ACT (Aksi Cepat Tanggap) dalam membagikan eskpresi bahagia orang-orang ‘tak berpunya’ menerima sekarung beras dan beberapa sembako pelengkap. Dunia sekarang sedang tidak baik-baik saja.

Disini kita bisa merasa betapa manusia itu tidak memiliki super power melawan takdir tuhan. Semua rencana yang sudah disusun jauh sebelum pergantian tahun datang januari silam, short plan yang ditulis di -buku rancangan tahun ini- nyaris berubah seluruhnya. Tidak bisa marah, jangan marah kalau sudah begini. Ikuti saja langkah bagaimana bisa tetap selamat dari serangan virus adalah prioritas yang paling bijak. Bisa bercengkrama dengan orang terdekat ternyata adalah suatu nikmat yang sangat mahal harganya, baru bisa dirasa ketika jarak menjadi pemisah. Jarak yang tidak bisa ditembus mudah seperti sebelum kejadian pandemi tersohor. Bisa keluar tanpa masker, sholat berjamaah tanpa jarak meter-meteran, bisa pakai mukena masjid sembarangan, peluk cium sahabat tanpa enggan, pilih semua barang boleh di pegang,  beli masker praktikum bisa ketengan, pake handscoon gak dapat hujatan, hingga nongkrong di kafe kesayangan gak akan ada satpol pp yang membubarkan, oh iya satu lagi bisa jajan di warung andalan, semua jadi kenangan sederhana sarat nikmat itu sekarang baru terasa.

Dunia sedang protes agaknya, sedikit ia merajuk. Karena kalau hari-hari biasanya polusi begitu merajalela, orang tidak punya empati atau simpati dengan saudara yang membutuhkan uluran tangan, semua hanya berprihatin tanpa mau berbagi ‘mungkin’. Apapun kesimpulan yang bisa kita tarik dari keadaan saat ini adalah: kita tetap manusia biasa yag tidak punya kuasa di alam semesta. Bagi yang memiliki rejeki berlebih bolehlah berbagi sedikit dengan orang yang membutuhkan, jangan bingung mencari caranya, di sosial media banyak rekening-rekening relawan yang bisa bantu menyalurkan, dan bagi yang berpunya, janganlah memposting  makanan yang orang lain tidak bisa merasaknnya, cukup nikmati saja dengan keluarga tersayang tanpa perlu mengumbarnya, sedih hati kami anak-anak perantauan yang terjebak dikamar 3 × 3 yang menyaksikan bulat-bulat postingan itu sambil menelan liur.

Marilah kita gaungkan doa terbaik yang bisa kita panjatkan, jaga kebersihan, jaga jarak, sayang diri, dan semoga bumi lekas membaik dan covid melenggang pergi hingga kita bisa merasakan nikmatnya tarawihan.

 

 

Salam hangat,

Iga

22 Maret 2020.

Comments

Popular Posts